Jumat, 07 Juni 2013

Dengan Pak Burger #3 (Memberi tanpa ada rasa pamrih *chapter 2)

sejak keluar dari kantor karena mendapatkan anugerah itu, aku dan kehidupanku telah dihadapkan pada serangkaian keputusan-keputusan. setiap keputusan yang aku ambil membawaku menyusuri jalan yang ternyata berkebalikan. apakah aku harus memberhentikan semua aktivitasku atau tetap berjalan seperti biasanya? 


memberhentikan semua aktivitasku yang bagiku padat akan memberikanku lebih banyak waktu untuk menikmati dunia seperti menyeduh teh di pagi hari, mendengarkan musik2 kesukaanku, dan mungkin bisa lebih sering dan jauh berkelana bersama sang motor kesayangan. namun apakah aku tidak akan merasakan apa2 jika kelak tak menyandang gelar sarjana teknik kebanggaanku dan kebanggaan orang tuaku? apakah aku akan kembali ke rumah yang lebih tenang, tetapi aku akan kehilangan seru dan asiknya di jember??

apakah aku harus fokus beristirahat? ataukah aku akan tetap menjadi relawan dalam kehidupan orang lain? 

pilihan pertama jelas akan membantuku memberi waktu kepada diriku sendiri untuk fokus pada anugerah itu. sementara yang kedua akan membantu memberikan kenyamanan pada orang lain.
.
dan mungkin jawaban yang paling sederhana dan bermanfaat sudah jelas terlihat.
.
.
hampir setiap bulan aku selalu membuat keputusan yang mengubah garis hidupku. mungkin bagi seseorang yang selalu mencari hal yang konstan, atau kestabilan sepanjang hidupnya, kesulitan dalam hal pengambilan keputusan seperti ini mungkin sangatlah mengkhawatirkan. tetapi, jika kita aku mencoba melihat kembali, mungkin sebagian besar keputusan yang aku ambil sudah tepat dan dengan alasan yang tertentu, dalam memilih, justru aku merasa mendapatkan bantuan yang sama sekali tak pernah aku duga.
.
sementara sambil menatap laptop dan disuguhi oleh teh seduh yang aku buat sendiri yang itu kiriman dari orang tua, aku berfikir tentang pengalaman ku yang sungguh mengagumkan, dan itu tengah aku jalani dan aku alami. 

ketika aku berada pada sebuah ruangan di rumah sakit yang disana ada seseorang (pria) yang belum pernah aku temui sebelumnya. sebut saja "si dis". tetapi aku merasakan aku dan dis sungguh dekat. hanya saja ada jarak pemisah antara aku dan dia. yaitu sesuatu yang harus terisolir dari orang lain.
aku mengambil sarung tangan karet (aku tak tau namanya yg penting ada hand dan skun nya. hehehe) dari pemberian sang perawat, aku bertanya-tanya apakah sarung tangan ini akan dianggap oleh dis sebagai pembatas antara dirinya dan kehidupan "normal dan sehat". aku merasakan itu dari pengalaman sendiri, entah bagaimana, aku sepertinya mirip dengan dis, sekalipun aku sebelumnya sampa saat itu tak tahu apa-apa tentang dia. 
kemudian tanpa kusadari aku telah memegang tangannya tanpa ada sarung tangan yang menutupi tanganku. hal itu membuatku merasakan "tenang dis, aku dapat merasakan apa yang engkau rasakan. kita bisa berbagi bersama.".
.
"haii dis, aku irfan. aku akan membantu perawat itu untuk menggantikan spreimu"
dengan suara yang lembut dan agak berat, dis menjawab "terima kasih".

badan dis sangat gemuk, tingginya lebih tinggi dariku, mungkin sekitar 175an, dia mengidap penyakit "H, tipe C", dia mau akan dipulangkan dari rumah sakit, dan dia sadar bahwa dia dipulangkan karena kesehatannya menurun dan lebih baik untuk dibawa kerumah. akan tetapi suaranya pada waktu  dia mengucapkan "terima kasih" kepadaku, tidak menandakan dia adalah orang yang tengah dirundung dan dicengkeram oleh rasa sakit. 

ketika kami dengan perlahan dan hati-hati memiringkan badannya dis ke satu sisi, raut wajahnya yang damai berganti dengan raut muka menahan rasa sakit...............
sang perawat baru menyadari bahwa ada salah satu alat yang diperlukan untuk mengganti sprei dis tertinggal di lantai bawah............
dan aku pun menemani sang perawat untuk mengambilnya.......
.
#to be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar