Jumat, 07 Juni 2013

Dengan Pak Burger #3 (Memberi tanpa ada rasa pamrih *chapter 1)

Dalam berbagai cara, kehidupanku sebelum mendapat anugerah itu adalah serangkaian perjanjian-perjanjian kecil. Dimana jika aku melakukan x, maka aku berharap mendapatkan y. jika aku melakukan A, maka aku berharap mendapatkan A pula. Bahkan berharap mendapatkan yang lebih. jika menyumbangkan pikiran, tenaga, atau sesuatu untuk orang lain, aku pun berharap orang itu membalasnya jika pada suatu saat aku membutuhkan pertolongan.


aku tidak pernah  men-sengaja-kan diri untuk mmbuat perjanjian seperti itu, tetapi aku sekarang menyadari bahwa dalam sekian banyak hal, aku menyimpan juga harapan terpendam pada orang-orang yang ada di sekitarku. Berharap mereka membalas budi atas apa yang telah atau pernah saya berikan kepada mereka. dan hal ini semakin terlihat setelah aku menjalani serangkaian rasa syukur atas anugerah itu.

ketika aku mencoba untuk mengenang kembali kehidupanku yang dulu, aku merasa bahwa kehidupan merupakan sebuah cerita dimana kisah orang kaya yang meletakkan sekarung uang di kaki tangga sebuah panti asuhan. namun ketika sang pemilik panti mengabaikannya dan melanjutkan aktivitas, orang kaya itu bertanya mengapa sang pemilik panti mengapa sumbangan sebanyak itu dibiarkan tak dihiraukan. dan kemudian sang pemilik panti itu menanyakan kepada si kaya alasan mengapa menyumbang. dan orang kaya itu menjawab " ya ini cara saya untuk menyenangkan Tuhan".

kemudian sang pamilik panti menjawab "jika ini semua adalah transaksi bisnis, maka saya akan menukar sekarung uang itu dengan selembar kertas yang berisikan pernyataan tanda terima kasih yang ditandatangai oleh Tuhan. dengan begitu anda (si kaya) dapat membuktikan pada Hari Pengadilan nanti bahwa anda telah melakukan perbuatan yang baik. tetapi jika anda memberikan sekarung uang itu dengan tulus dan ikhlas, mengapa anda butuh ucapan terima kasih?"
mendengar jawaban dari pemilik panti itu, sang kaya kemudian berlalu.
.
.
ketika aku datang ke sebuah sekolah TK islam, yang dmana komunitas yang aku ikuti sedang mengajar disana, aku menyadari bahwa aku tidak ada bedanya dengan orang kaya tadi. 

Dengan waktu yang singkat tanpa pemikiran otak yang berlebih, aku mulai berbicara pada diriku sendiri, "sejak tanganku dicium oleh anak2 itu (biasa disebut salim) dan mereka memanggilku "pak guru, aku mau salim", aku telah belajar banyak tentang diri ku sendiri, lebih daripada yang telah aku pelajari selama 18 tahun hidupku. aku butuh jeda untuk mencerna semua perubahan yang terjadi padaku.

Baru saja aku memahami betapa pentingnya memahami perasaan,

#to be continued......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar