Rabu, 05 Juni 2013

Dengan Pak Burger #2 (mengingat beberapa pelajaran hidup)

Pertemuan ku yang kedua dengan pak burger menyarankan pertemuan kita berlangsung di sebuah tempat yang sunyi. Mungkin untuk lebih gampang menghayati. Berharap pertanyaan dariku yang aku ajukan di pertemuan pertama bisa terjawab pada pertemuan kali ini dan jawaban dari pak burger bisa membantuku untuk tetap bisa menikmati hidup ini.

Dengan pengharapan itulah aku datang menemui pak burger. Setelah saling berjabat tangan dan saling mengungkapkan betapa cocok setelan baju masing-masing. Hehehee, pembicaraan yang terkesan berusaha mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang dengan pertanyaanku yang “menjurus” langsung ke pointnya.

Dengan mendengarkan keindahan kata yang keluar dari pak burger yang seolah-olah menghipnotisku untuk masih dalam imajinasinya dan membentuk lagi semangat ku kembali. Baru disitulah aku mulai menyadari bahwa anugerah Tuhan yang datang padaku yang pada awalnya justru membuatku selalu ingin menyelesaikan tugasku didunia ini, membawa pengaruh yang berbeda-beda bagi setiap orang. 

Ada yang beberapa dari mereka merasa selalu dihantui oleh kekhawatiran tentang dampak dari anugerah itu pada aktivitasnya setiap hari. Dan mereka yang lain merasakan bahwa anugrah yang datang itu membuat pandangan mereka berubah sekalipun masalah fisik belum menunjukkan identifikasinya.

Ketika waktu untukku berbicara, justru aku tidak dapat mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang telah lama menghantuiku. Sebeneranya tak ada hubungannya dengan ketakutan untuk tak terjawab, karena aku sadar pasti mereka mendukungku. Hanya saja mungkin aku belumlah siap untuk menunjukkan ekspresi, perasaan, yang telah lama aku sembunyikan sejak pertama kali mendengar “berita” itu.

Kuputuskan untuk menyudahi pertemuanku dengan pak burger, karena aku tak tahu lagi harus berbicara apa. Dengan penuh pengertian, pak burger mencoba untuk tetap memberikanku semangat untuk terus berjuang dalam kehidupanku. Dan terus menanyaiku kapan untuk bertemu lagi meskipun hanya sekedar mengobrol santai, bahkan saling bergurau.
.
Tapi di pertengahan jalan, saya berfikir sesuatu.
Terkadang pelajaran-pelajaran hidup ini menghunus bagaikan pisau, seperti ketika aku menggandeng tangan seorang penderita AIDS dan kemudian dia menemui ajalnya. Tapi dilain sisi pelajaran ini begitu lembut seperti saat aku mendongengkan sebuah cerita kepada anak kecil selama beberapa jam, dari situ aku menyadari bahwa dia sedang mensejajarkan irama nafasnya dengan irama nafasku. 

Dari beberapa pelajaran itu aku dapat mengambil kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan apakah guru kehidupanku adalah seorang anak kecil berusia 2 tahun ataupun seorang yang sudah tua yang telah menyaksikan berbagai sejarah di negeri ini.

Dan disaat itulah aku mulai tak kuasa membendung air mataku untuk keluar. Karena tiada seorang pun yang mampu mengetahui secara pasti kapan tiba waktunya. Tetapi dari sekian banyak guru kehidupanku, mereka tak pernah sedikitpun merasa takut, bahkan tak pernah sedikitpun mereka mencoba untuk lari dalam anugerah itu. Mereka mendekapnya dengan penuh suka cita. Mereka memeluknya erat2 meskipun mereka tau itu adalah bom waktu yang kapan saja siap membawa mereka pergi dari dunia ini.
.

bagaimanakah dengan ku? Apakah aku harus berlari dan mencoba untuk tak menerima anugerah itu??


2 komentar: