Pertemuan ku yang kedua dengan pak burger menyarankan
pertemuan kita berlangsung di sebuah tempat yang sunyi. Mungkin untuk lebih
gampang menghayati. Berharap pertanyaan dariku yang aku ajukan di pertemuan
pertama bisa terjawab pada pertemuan kali ini dan jawaban dari pak burger bisa
membantuku untuk tetap bisa menikmati hidup ini.
Dengan pengharapan itulah aku datang menemui pak burger.
Setelah saling berjabat tangan dan saling mengungkapkan betapa cocok setelan
baju masing-masing. Hehehee, pembicaraan yang terkesan berusaha mencairkan
suasana agar tidak terlalu tegang dengan pertanyaanku yang “menjurus” langsung
ke pointnya.
Dengan mendengarkan keindahan kata yang keluar dari pak
burger yang seolah-olah menghipnotisku untuk masih dalam imajinasinya dan membentuk
lagi semangat ku kembali. Baru disitulah aku mulai menyadari bahwa anugerah
Tuhan yang datang padaku yang pada awalnya justru membuatku selalu ingin
menyelesaikan tugasku didunia ini, membawa pengaruh yang berbeda-beda bagi
setiap orang.
Ada yang beberapa dari mereka merasa selalu dihantui oleh
kekhawatiran tentang dampak dari anugerah itu pada aktivitasnya setiap hari.
Dan mereka yang lain merasakan bahwa anugrah yang datang itu membuat pandangan
mereka berubah sekalipun masalah fisik belum menunjukkan identifikasinya.
Ketika waktu untukku berbicara, justru aku tidak dapat
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang telah lama menghantuiku. Sebeneranya tak
ada hubungannya dengan ketakutan untuk tak terjawab, karena aku sadar pasti
mereka mendukungku. Hanya saja mungkin aku belumlah siap untuk menunjukkan
ekspresi, perasaan, yang telah lama aku sembunyikan sejak pertama kali
mendengar “berita” itu.
Kuputuskan untuk menyudahi pertemuanku dengan pak burger,
karena aku tak tahu lagi harus berbicara apa. Dengan penuh pengertian, pak
burger mencoba untuk tetap memberikanku semangat untuk terus berjuang dalam
kehidupanku. Dan terus menanyaiku kapan untuk bertemu lagi meskipun hanya
sekedar mengobrol santai, bahkan saling bergurau.
.
Tapi di pertengahan jalan, saya berfikir sesuatu.
Terkadang pelajaran-pelajaran hidup ini menghunus bagaikan
pisau, seperti ketika aku menggandeng tangan seorang penderita AIDS dan
kemudian dia menemui ajalnya. Tapi dilain sisi pelajaran ini begitu lembut seperti saat
aku mendongengkan sebuah cerita kepada anak kecil selama beberapa jam, dari
situ aku menyadari bahwa dia sedang mensejajarkan irama nafasnya dengan irama
nafasku.
Dari beberapa pelajaran itu aku dapat mengambil kesimpulan
bahwa tidak ada perbedaan apakah guru kehidupanku adalah seorang anak kecil
berusia 2 tahun ataupun seorang yang sudah tua yang telah menyaksikan berbagai
sejarah di negeri ini.
Dan disaat itulah aku mulai tak kuasa membendung air mataku
untuk keluar. Karena tiada seorang pun yang mampu mengetahui secara pasti kapan
tiba waktunya. Tetapi dari sekian banyak guru kehidupanku, mereka tak pernah
sedikitpun merasa takut, bahkan tak pernah sedikitpun mereka mencoba untuk lari
dalam anugerah itu. Mereka mendekapnya dengan penuh suka cita. Mereka memeluknya
erat2 meskipun mereka tau itu adalah bom waktu yang kapan saja siap membawa
mereka pergi dari dunia ini.
.
bagaimanakah dengan
ku? Apakah aku harus berlari dan mencoba untuk tak menerima anugerah itu??
Bolehkah aku tanya sesuatu?
BalasHapusapa?
BalasHapus