Senin, 16 September 2013

Risk

pagi itu, kala sinar mentari masih malu untuk menampakkan senyumannya kepada dunia, aku mulai mengatur irama nafas yang dari bangun tidur tak kunjung berdetak secara normal. rasanya seperti habis meneguk kopi dengan tingkat caffein tinggi. setelah mempersiapkan segala apa yang harus dibawa, kutarik nafas dalam-dalam, kukeluarkan perlahan dan kuucapkan "bismillah, semoga hari ini membawa kabar yang indah dari hasil pemeriksaan kemarin".

tak seperti hari-hari biasanya, pagi itu bangun pun aku tak bisa untuk menumbuhkan senyum. dipaksapun juga hasilnya tetap sama. murung,, bingung,, tak bersemangat,, takut,, cemas,, dan yang lainnya yang membuat kaki ini terasa berat untuk dijalankan.
"ahh, mau gimanapun hasilnya, toh pulang juga bakalan naik motor yang sama, kembali ke kamar yang sama, dan melototin segala sesuatu yang sama pula" kukembangkan pikiran itu.
.
setelah sampai pada suatu ruangan yang dipenuhi dengan orang-orang memakai seragam putih bersih dan wangi ruangan yang bagiku itu sudah membosankan, aku mulai duduk menunggu nomor antrian. kutengokkan kepalaku ke sebelah kiri, ada seorang anak laki-laki kecil yang sedang duduk dengan kaki bergoyang menggantung karena kursi ruangan itu tinggi. saat aku menatapnya, dia menolehkan pandangan matanya kearahku, kuberi dia senyuman tanda bahwa aku tak akan menggigitnya, namun dia malu kemudian memeluk ibunya. 
sempat aku memanggilnya karena aku masih ingat kalau ada coklat di tasku, untungnya ada 2 satu aku berikan kepada adik itu, satu lagi masih aku simpan karena aku yakin adik itu pasti tak mau karena rasa coklat yang satu ini pahit.

setelah bercengkrama lama dengan adik itu, tibalah nomor antrianku diambil.
kuayunkan kakiku memasuki suatu ruangan yang lebih kecil, namun lebih dingin. kutemui seorang lelaki agak tua dengan pakaian putih juga tetapi memakai bawahan jeans dan fantovel coklat, kusalami beliau dan obrolan kamipun dimulai.
aku pun memulai pembicaraan dengan menanyakan satu pertanyaan yang bagiku itu sangat mewakili tujuanku untuk datang "sudah hampir 2 minggu saya tak mengkonsumsinya lagi, apakah boleh saya berhenti dan hanya menunggu keajaiban dari Tuhan datang untuk saya?"
beliau langsung memberi 1 pertanyaan saja, "kamu sanggup tanpa itu?"
.
dengan tegap aku berdiri dan tanpa pertanyaan lagi aku menyalami beliau dan aku mengatakan satu kalimat "harus dan pasti bisa". dengan sedikit bingung, beliau menyalamiku dengan jabatan yang tegap.
.
.
aku tau jabatan yg tegap itu mengisyaratkan bahwa aku harus lebih memberikan sedikit tenaga ekstra untuk menahan rasa itu timbul karena tak ada lagi peredamnya.
.
biaya untuk peredam itu membuatku merasa tak kuat lagi untuk melakukan pengadaan. 
.
semua keputusan memang ada resiko yang harus diambil. seperti keputusanku ini. seperti berjalan dengan pincang tetapi harus dipaksa tak ada tongkat untuk menopang. berat pastinya, tapi aku percaya bahwa aku bisa.
.
yang harus diyakini adalah 
"kehidupan itu sperti buku, dimana sampul depan adalah saat dimana kita dilahirkan dan memulai cerita kita, sedangkan sampul belakang adalah saat dimana cerita kita telah usai dan berakhir. tapi diantara itu terdapat lembar-lembar kosong dan bersih yang nantinya terserah kita akan kita isi dengan apa saja. seburuk atau sesulit apapun halaman sebelumnya, akan ada halaman selanjutnya yang bisa engkau tulis, gambar, dan engkau lukis yang nanti akan membuatnya indah, mskipun engkau tak sempat membacanya kembali karena telah kau temukan sampul belakang"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar