Aku menyadari bahwa ada saat-saat ketika
mendengarkan musik itu, aku dapat mengeluarkan perasaan yang tidak dapat
dijelaskan dengan kata-kata, atau perasaan yang enggan untuk aku kemukakan
kepada orang lain. Akan tetapi melalui musik, perasaan itu hadir, dapat
dijangkau, singkat, dan penuh emosi.
Komunikasi dari hati memberikan aku sebuah berkah
dan anugerah yang sangat hakiki, sebuah kejujuran tanpa syarat yang mengabaikan
citra diri atau konsekuensi tindakanku. Mungkin kejujuran seperti inilah yang
paling mudah kita lakukan, sebelum pikiran “dewasa” kita mulai mematok
batasan-batasan dalam mengungkapkan diri pada dunia.
Ketika aku masih SD, aku tidak takut untuk berdiri
di depan umum dan para juri saat lomba menyanyi atau lomba membaca puisi. Aku
tidak pernah khawatir apakah yang aku katakan atau aku ucapkan adalah hal yang
benar. Akan tetapi, sejalan dengan bertambahnya usia dan tingkat pendewasaan
diri, muncul sebuah cara yang lebih rumit dalam memandang kehidupan, serta
diiringi beberapa aturan-aturan atau perilaku sosial dan kemampuan untuk
memanipulasi kejujuran kata-kata kita.
Dari berbagai sisi, cara kita menggerus kejujuran
emosional kita mirip seperti tumbuhnya penyakit mata: lambat laun, penyakit itu
tumbuh selama bertahun-tahun tanpa kita sadari, sampai suatu hari, penglihatan
menjadi kabur. Ini akan disadari dalam sehari-hari, namun penyakit mata itu
telah tumbuh bertahun-tahun sebelumnya. Apa yang aku anggap sebagai peralatan
pelindung “jarak emosional” adalah penyakit mata itu, yang mengaburkan
pandanganku tentang realitas dan memisahkanku dari orang-orang yang ingin
membantuku.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar