Minggu, 28 Juli 2013

mencoba komunikasi dari dalam hati #chapter 4 END



Aku menyadari bahwa ada saat-saat ketika mendengarkan musik itu, aku dapat mengeluarkan perasaan yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, atau perasaan yang enggan untuk aku kemukakan kepada orang lain. Akan tetapi melalui musik, perasaan itu hadir, dapat dijangkau, singkat, dan penuh emosi.


Komunikasi dari hati memberikan aku sebuah berkah dan anugerah yang sangat hakiki, sebuah kejujuran tanpa syarat yang mengabaikan citra diri atau konsekuensi tindakanku. Mungkin kejujuran seperti inilah yang paling mudah kita lakukan, sebelum pikiran “dewasa” kita mulai mematok batasan-batasan dalam mengungkapkan diri pada dunia.

Ketika aku masih SD, aku tidak takut untuk berdiri di depan umum dan para juri saat lomba menyanyi atau lomba membaca puisi. Aku tidak pernah khawatir apakah yang aku katakan atau aku ucapkan adalah hal yang benar. Akan tetapi, sejalan dengan bertambahnya usia dan tingkat pendewasaan diri, muncul sebuah cara yang lebih rumit dalam memandang kehidupan, serta diiringi beberapa aturan-aturan atau perilaku sosial dan kemampuan untuk memanipulasi kejujuran kata-kata kita.

Dari berbagai sisi, cara kita menggerus kejujuran emosional kita mirip seperti tumbuhnya penyakit mata: lambat laun, penyakit itu tumbuh selama bertahun-tahun tanpa kita sadari, sampai suatu hari, penglihatan menjadi kabur. Ini akan disadari dalam sehari-hari, namun penyakit mata itu telah tumbuh bertahun-tahun sebelumnya. Apa yang aku anggap sebagai peralatan pelindung “jarak emosional” adalah penyakit mata itu, yang mengaburkan pandanganku tentang realitas dan memisahkanku dari orang-orang yang ingin membantuku.
.
.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar